Ada masa di mana ide cukup ditulis di kertas, direkam di kepala, lalu dibagi tanpa banyak mikir. Sekarang, hampir semua ide harus melewati sesuatu dulu — algoritma, platform, atau sistem yang entah sejak kapan mulai ikut menilai mana yang pantas muncul.
Kadang gue ngerasa lucu. Kita bikin sesuatu dengan niat jujur, tapi ujung-ujungnya mikir, “bakal dibaca nggak, ya?” atau “ini bisa nongol di timeline nggak?” Seolah ide yang bagus belum cukup kalau belum disetujui mesin.
Pola yang Mengatur Cara Kita Bergerak
Mesin nggak pernah memaksa, tapi pelan-pelan membentuk kebiasaan.
Kita mulai tahu jam terbaik buat posting. Mulai paham gaya tulisan yang disukai orang. Dan tanpa sadar, mulai menyesuaikan diri — bukan karena diperintah, tapi karena pengen relevan.
Dulu, kreatif itu tentang keberanian beda. Sekarang, keberanian malah bisa bikin tenggelam di algoritma.
Yang ironis, sistem yang diciptakan buat bantu manusia berpikir malah pelan-pelan ngajarin kita buat berpikir seragam.
Ketika Ide Mulai Diukur dengan Angka
Dunia digital suka hal yang bisa dihitung. Like, view, engagement, CTR.
Padahal kreativitas nggak selalu logis. Kadang ide bagus muncul dari hal random yang nggak bisa dijelaskan.
Tapi sekarang, ide baru sering diuji dulu: “apakah algoritma bakal suka?”
Gue pernah ngalamin sendiri — nulis sesuatu yang menurut gue penting, tapi sepi. Sementara tulisan iseng, tanpa rencana, malah viral.
Di situ gue sadar: mesin nggak peduli isi, dia cuma tahu pola.
Antara Takut Ketinggalan dan Ingin Tetap Jujur
Ada rasa canggung di zaman kayak gini.
Kalau ngikut mesin terus, takut kehilangan suara sendiri. Tapi kalau lawan, takut nggak kedengeran sama sekali.
Jadi akhirnya banyak orang jalan di tengah. Nulis jujur, tapi dikemas biar bisa lewat filter. Bikin karya dari hati, tapi disesuaikan biar tetap “bisa naik.”
Kayak hidup di dua dunia: dunia yang pengen asli, dan dunia yang harus strategis.
Mesin Boleh Paham Pola, Tapi Nggak Paham Rasa
Algoritma bisa mengenali ekspresi wajah, tapi nggak tahu kenapa seseorang tersenyum.
Ia bisa meniru gaya bahasa, tapi nggak ngerti kenapa kalimat itu penting.
Kreativitas manusia lahir dari perasaan yang kadang absurd, yang nggak bisa dirumuskan.
Dan mungkin, di situ letak harapan kita: mesin bisa membantu, tapi arah tetap harus kita yang pegang.
Karena kalau semua diserahkan ke data, maka seni tinggal angka, dan ide tinggal file.
Dunia yang Terhubung Tapi Tidak Selalu Dekat
Dalam salah satu liputan di The Guardian, banyak penulis digital ngomong hal yang sama: algoritma membuat karya mereka lebih terstruktur, tapi juga lebih takut gagal.
Yang hilang bukan cuma spontanitas, tapi rasa ingin bikin sesuatu tanpa mikir hasil akhirnya.
Kreativitas berubah bentuk — bukan lagi soal “apa yang pengen gue bilang”, tapi “apa yang pengen dunia lihat dari gue.”
Dan kalau dibiarkan terlalu lama, bisa jadi kita lupa rasanya bikin sesuatu hanya karena pengen.
Akhir yang Masih Terbuka
Mungkin dunia ini nggak salah arah, cuma berubah bentuk.
Kita cuma perlu lebih sadar waktu ide mulai terasa seperti “tugas” buat memenuhi ekspektasi sistem.
Nggak semua ide harus viral. Nggak semua karya harus punya angka.
Kadang, bikin sesuatu yang jujur aja sudah cukup buat menantang algoritma.
Selama manusia masih punya rasa penasaran, mesin cuma bisa ikut belajar — bukan menggantikan.